Apa yang terjadi bila di wilayah permukiman yang didiami, tiba-tiba muncul aktifitas usaha di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang berefek terganggunya kenyamanan masyarakat sekitar? Ambil contoh, bila tetiba muncul aktifitas perbengkelan di deretan perumahan, di mana masyarakat sekitar tidak pernah meniatkan lingkungan mereka menjadi area bisnis lengkap dengan kebisingannya. Tentu kejadian seperti ini mengganggu dan berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Pemerintah Daerah sebagai pemegang otoritas pengelolaan wilayah, memiliki kewenangan untuk melaksanakan pengaturan agar bagian-bagian dalam masyarakat dapat terwadahi kepentingannya tanpa harus mengganggu kepentingan bagian masyarakat lainnya. Masyarakat tentu butuh kehadiran bengkel motor/mobil, toko kelontong dan swalayan, rumah makan, toko material bangunan dan lain-lainnya, namun lokasi operasional usaha-usaha tersebut harus diatur sehingga tidak terjadi unit bisnis berdiri di area yang tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Dasar Hukum
Pada masa penjajahan Belanda, pengaturan fungsional wilayah telah menjadi perhatian bagi pengelola administrasi pemerintahan saat itu. Untuk pengaturan mengenai pendirian aktifitas bisnis tertentu dan wilayah mana-mana saja yang diperkenankan untuk pendiriannya, maka telah diterbitkan Undang-Undang (Ordonansi) Gangguan/Hinderordonnantie dalam lembaran negara (Staatsblad) Tahun 1926 Nomor 226, yang sering diistilahkan dengan izin HO. Dalam Undang-Undang dimaksud, ada pengaturan wilayah-wilayah yang ditetapkan sebagai area yang tidak diperkenankan untuk pendirian beberapa aktifitas bisnis dan industri tertentu. Selanjutnya UU tersebut disempurnakan terakhir dengan Stbl Tahun 1940 Nomor 450
Sampai saat ini pengaturan dan penerbitan Izin Gangguan masih dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, namun belum ada peraturan setingkat undang-undang yang diterbitkan untuk menggantikan Stb 1926 No. 226. Peraturan pelaksanaan yang mendasari pengaturan Izin Gangguan baru sebatas pada tingkatan Peraturan Menteri yaitu Permendagri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah yang telah direvisi dengan Permendagri 22 Tahun 2016.
Dalam Permendagri dimaksud, disebutkan bahwa izin gangguan merupakan sarana pengendalian, perlindungan, penyederhanaan dan penjaminan kepastian hukum dalam berusaha. Salah satu yang disinggung dalam peraturan dimaksud adalah mengenai pengecualian pendirian industri yang tidak memerlukan pengajuan retribusi Izin Gangguan yaitu apabila instalasi industri dilakukan dalam kawasan industri. Seluruh dampak gangguan yang ditimbulkan dari aktifitas operasional industri dianggap minim gangguan pada masyarakat karena umumnya kawasan industri secara lokasi terpisah dari lingkungan permukiman serta seluruh sarana dan inrastruktur kawasan industri telah dipersiapkan untuk mengantisipasi efek samping dari pengelolaan industri.
Definisi
Objek Retribusi Izin Gangguan adalah pemberian izin tempatusaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan, termasuk pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja.
Tidak termasuk objek Retribusi adalah tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Tempat usaha/kegiatan yang dimaksud adalah kawasan industri yang disiapkan oleh Pemerintah Daerah. Dengan pengecualian pengajuan Izin Gangguan beserta pembayaran retribusinya diharapkan menjadi insentif dan stimulan agar industri dapat memusatkan pendirian industrinya pada kawasan yang telah dipersiapkan segala sarananya untuk meminimalkan dampak negatif operasional industri.
Dalam penjelasan Undang-Undang 28 Tahun 2009, dijelaskan bahwa bila dibanding UU Nomor 34 Tahun 2000, objek Retribusi Izin Gangguan diperluas hingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja
Tarif Retribusi
Berdasarkan penjelasan UU PDRD, mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan, tarif retribusi Izin Gangguan dapat ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari nilai investasi usaha di luar tanah dan bangunan, atau penjualan kotor, atau biaya operasional, yang nilainya dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian usaha/kegiatan tersebut.
Dalam penghitungan besaran Retribusi Izin Gangguan yang akan dikenakan, umumnya Pemerintah Kabupaten/Kota mencantumkan rumus yang memperhitungkan luas areal usaha, jenis usaha, lokasi usaha, serta dampak gangguan yang ditimbulkan. Jenis usaha yang menimbulkan limbah pada lingkungan tentu akan mempunyai bobot atau indeks yang lebih besar bila dibandingkan dengan industri yg ramah lingkungan. Lokasi yang tidak dalam peruntukan usaha juga akan dikalkulasi lebih dalam perhitungan besaran retribusi.